1.Jelaskan perbedaan masyarakat desa dengan masyarakat perkotaan?
Masyarakat desa Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya.
Masyarakat kota biasannya orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain
2.Jelaskan hakikat keragaman dan kesetaraan manusia?
keragaman adalah perbedaan yang indah, sehingga dalam keragaman kita harus berpikir keindahan yang sangat unik. Karena jika kita tidak melihat suatu perbedaan kita tidak akan melihat suatu keindahan karena tidak ada perbandingan. Sayang banyak individu melihat perbedaan atau keragaman yang berada disekitar mereka adalah sesuatu yang salah. Seharusnya mereka dapat berpikir bagaimana kita dapat menilai sesuatu jika kita tidak dapat membandingkan sesuatu.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata.
3.Jelaskan kemajemukan dengan dinamika sosial budaya (secara horizontal dan vertical)?
Secara horizontal, masyarakat majemuk, dikelompokkan berdasarkan:
-Etnik dan ras atau asal usul keturunan.
-Bahasa daerah.
-Adat Istiadat atau perilaku.
-Agama.
-pakaian, makanan, dan budaya material lainnya.
Secara vertical, masyarakat majemuk dikelompokkan berdasarkan:
-Penghasilan atau ekonomi.
-Pendidikan.
-Pemukiman.
-Pekerjaan.
-Kedudukan social politik.
4.problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan?
1. Problema Keragaman Serta Solusinya Dalam Kehidupan
Keragaman masyarakat Indonesia yang mengembangkan kita tidak serta merta mempunyai dampak yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara melainkan keragaman ini juga bisa perpotensi negative.
Van de burghe sebagaimana dikutip oleh elly M. setiadi (2006) menjelaskan bahwa masyarakat majmuk memiliki sifat-sifat sbb:
a) Terjadinya segmentasi kedalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki kebudayaan yang berbeda.
b) Memiliki struktur social yang berbagi-bagi kedalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer
c) Kurang mengembangkan consensus diantara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
d) Secara relatif, seringkali terjadi konflik diantara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
e) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f) Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain.
2.Problema Kesetaraan Serta Solusinya Dalam Kehidupan
Kesedrajatan adalah suatu sikap untuk mengakui adanya persamaan drajad, hak, dan kewajiban sebagai sesama manusia. Indikator kesederajatan adalah sbb:
a) Adanya persamaan drajad dilihat dari agama, suku bangsa, ras, gender, dan golongan.
b) Adanya persamaan hak dari segi pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak.
c) Adanya persamaan kewajiban sebagai hamba tuhan, individu, dan anggota masyarakat.
Problema yang terjadi dalam kehidupan umumnya adalah munculnya sikap dan prilaku untuk tidak mengakui adanya persamaan drajat, hak, dan kewajiban antar manusia atau antar warga. Prilaku ini biasa disebut deskriminasi.
Diskriminasi merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dantidak sesuai dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 memasukkan program penghapusan deskriminasi dalam berbagai bentuk sebagai program pembangunan bangsa. Berkaitan dengan ini pemerintah mengambil arah kebijakan sbb:
a) Meningkatkan upaya penghapusan segala bentuk deskriminasi termasuk ketidak adilan gender, bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum tanpa terkecuali.
b) Menerapkan hukum dengan adil melalui perbaikan sistem hukum yang profesional, bersih dan berwibawa. Penghapusan deskriminasi dilakukan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang anti diskriminitif serta pengimplementasiannya di lapangan.
5. Berikan contoh 1 kasus konflik horizontal di Indonesia serta penyebab dari konflik itu?
Konflik Poso
Secara awam, banyak disangka konflik Poso berakar pada konflik agama. Namun, tatkala dilakukan kajian mendalam ternyata tidak persis demikian keadaannya. Konflik di Poso bersifat multi akar, satu sama lain berkelindan rumit. Untuk itu di dunia kepustakaan telah banyak hasil penelitian yang menyelidiki akar-akar konflik Poso sekaligus resolusi konfliknya.
Poso adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah. Komposisi utama penduduk Poso terdiri atas penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli terdiri atas suku Kaili, Pamona, Mori, dan Wana. Penduduk pendatang berasal dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja), Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur. Pendatang dari Jawa, Bali, dan Lombok masuk ke Poso lewat program transmigrasi, baik swakarsa maupun mobilisasi pemerintah. Khusus mengenai kaum pendatang, di Poso pun terbentuk sejumlah asosiasi mereka seperti Paguyuban Bugis-Makassar, Paguyuban Masyarakat Jawa, Paguyuban Masyarakat Gorontalo, Paguyuban Masyarakat Bali, Paguyuban Masyarakat Lombok, dan sebagainya kaum pendatang itu. Sesungguhnya aneka paguyuban ini dapat digunakan sebagai jembatan komunikasi antar etnis yang efektif jika perannya dimaksimalkan serta didukung penuh oleh pemerintah selaku regulator politik.
Penyebab Konflik Poso. Terdapat sejumlah pendapat ahli seputar akar penyebab konflik horisontal di Poso. Pendapat pertama diajukan sosiolog Thamrin Amal Tomagola lewat konsepnya bertajuk piramida bertingkat tiga. Menurut Tomagola, pada tingkat paling dasar terdapat dua transformasi utama yang secara fundamental mengubah wilayah. Pertama, transformasi demografi. Kendati Poso telah dimasuki pendatang Islam dan Kristen sejak prakolonial, proporsi migrasi yang cukup signifikan terjadi di masa Orde Baru pasca pembukaan Sulawesi oleh Jalan Trans-Sulawesi, di samping pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara baru. Para pendatang datang dari utara dan selatan Sulawesi. Akibatnya, proporsi pendatang, terutama yang menganut Islam, semakin membesar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang ada di tengah wilayah Poso mulai merasa terjepit dan terancam. Kedua, transformasi ekonomi. Kegiatan ekonomi perdagangan secara perlahan mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan yang berpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kenyataan ini memperkuat sentimen keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian yang kebetulan beragama Kristen.